Selasa, 26 Desember 2017

Saintifikasi Vaksin Indonesia

Sains Vaksin dan Darurat KLB Difteri di Indonesia



Bencana wabah difteri, dikenal sebagai KLB Difteri, akibat kekurangan vaksin. Pemerintah pun merespons dengan mengeluarkan paket program Outbreak Response Immunization (ORI) di penghujung akhir tahun 2017.
Pemerintah kemudian tetiba mengumumkan kejadian KLB bencana difteri nasional, lalu mengintruksikan agar Biofarma segera memproduksi vaksin dan serum untuk mengatasi kelangkaan stock nasional, hingga Biofarma meminjam ke produsen vaksin di negara lain seperti India.
Sebelumnya kita harus mengetahui defenisi vaksin. Vaksin adalah suatu virus atau bakteri yang sudah dilemahkan atau dimatikan, kemudian dimasukkan ke dalam tubuh untuk membentuk kekebalan tubuh (imunitas) secara aktif.
Antiserum adalah sebuah sediaan yang berisi antibodi dan antigen yang umumnya berupa mikroorganisme yang telah dilemahkan atau dimatikan, untuk membentuk kekebalan pasif yang disebabkan oleh virus atau bakteri.
Penggunaan vaksin dan antiserum, dibedakan berdasarkan kebutuhan dan kondisi penerima. Vaksin diberikan kepada orang yang sehat dengan tujuan untuk mencegah dari tertular penyakit, sedangkan antiserum diberikan kepada orang yang diduga akan/sudah terpapar oleh penyakit yang disebabkan oleh virus atau bakteri.
Indonesia berdasarkan data laporan WHO, hasil review epidemiologi difteri dari 2000-2016 dinyatakan peringkat kedua terbanyak dan di tahun 2017. Penyakit khusus difteri naik 42% dari angka rekam medis tahun lalu. Terdapat lebih dari 590 kasus tercatat.
Kementrian kesehatan seharusnya telah memiliki basis collecting data tahunan, prevalensi penyakit, dan sensus penduduk dan variabel kesehatan lainnya yang dilaksanakan berkala tiap tahun. Khusus vaksin sendiri, bisa mengambil data dari puskesmas sebagai faskes primer. Data ini yang updated harus dimiliki Balitbang Kemenkes, jika perlu di-backup data dari BPS Nasional.
PT Biofarma sebagai satu-satunya produsen tunggal perusahaan vaksin nasional, namun pembelian pemerintah ke Biofarma melalui proses tender melalui anggaran rutin tahunan. Seharusnya sudah jauh-jauh hari dimintai menambah stock pasokan jika dianggap kurang, karena produksi membutuhkan Perencanaan dan Planning, dan juga melihat ketersediaan inventory (bahan baku) tentunya yang harus dibiakkan sebelumnya.
Berbeda dengan komoditi lainnya yang bisa diperoleh dengan mudah, obat termasuk vaksin dibuat dengan standard tinggi, memperhatikan efikasi, kualitas, dan keamanannya. Keberadaan vaksin juga dalam kontrol dan pengawasan lembaga BPOM RI.
Setelah obat diproduksi, didistribusikan hingga sampai ke tangan pasien, selama itu handling vaksin juga harus benar. Penyimpanan vaksin perlu dilengkapi dengan cold storage, karena masalah stabilitasnya, sehingga tersedia preparat yg conditional disuhu 2-8oC dan bahkan ada juga di suhu -20oC.
Berdasarkan penelitian Machaban dari UGM, hasil evaluasi QMS menyatakan bahwa Biofarma telah memenuhi standard ISO 9001, di mana QMS mencapai 100%, Resources management (100%), Product realization (99,2%).
Produk vaksin biofarma bahkan telah memenuhi sertifikasi pre-kualifikasi WHO, sehingga produknya telah memenuhi standar dan bahkan sudah diexport di lebih dari 130 negara. Sehingga dugaan kami, jika marak beredar “vaksin palsu”, berarti disinyalir bukan dibeli melalui prosedur yang legal dan resmi.
Rujukan tersebut menjelaskan bahwa Biofarma pasti telah memiliki kalkulasi kapasitas produksi. Ini penting sehingga bisa menjadi bahan evaluasi.
Jika kapasitas produksinya belum mampu untuk memenuhi kebutuhan stock dalam negeri, maka perlu dipertimbangkan untuk investasi mesin dan sarana produksi untuk memenuhi kebutuhan produksinya. Alternatif lain, pemerintah perlu mencari produsen vaksin lain, sehingga kejadian KLB tidak terulang di masa mendatang.
Faktor eksternal, stigma dan informasi yang menyesatkan dari sejumlah oknum, yang memfatwakan vaksin haram perlu diluruskan. Sehingga respons penolakan antivaksin menjadi viral dan membuat masyarakat tidak melaksanakan imunisasi yang merupakan paket yang digratiskan di puskesmas. Wacana ini berimbas pada kegagalan Program paket Imunisasi Nasional.
Sebagai farmasis, saya perlu menjelaskan bahwa bahan baku pembuatan vaksin bukan babi, namun berasal dari mikroorganisme, yakni virus dan bakteri yang dilemahkan. Untuk difteri yang dipakai adalah jenis toxoid vaccine dari toxin mikroorganisme yang sudah diinaktivasi.
Vaksin berasal dari mikroorganisme, namun sebagai media kultur pertumbuhan menggunakan hewan (umumnya sapi, babi, atau kuda). Dan mikroorganisme tersebut perlu unsur-unsur penunjang pertumbuhannya.
Jikapun menggunakan babi sebagai media kultur, maka betul-betul telah dibersihkan. Ibaratnya, mengkonsumsi buah, mikroorganisme adalah “buah” dan hewan tadi adalah “tanah” sebagai media tumbuh, tempat perlekatan tanaman yang akan berbuah, setelah panen “buah” yang dikonsumsi. Jadi yang dikonsumsi tetep mikroorganisme, bukan “tanah” atau hewannya yang dikonsumsi. Saat ini, justru kampanye penggunaan vaksin juga diendorse oleh MUI Indonesia.
Selain itu, tanggal 5–7 Desember 2017 bahkan telah diselenggarakan pertemuan Tingkat Menteri Kesehatan Negara-negara OKI, di Jeddah Arab Saudi. Hasil pertemuan tersebut, Indonesia dinyatakan sebagai Centre of Excellence (Pusat Penelitian Bersama) untuk bidang vaksin dan Bioteknologi. Produk vaksinnya bahkan, telah diexport ke 36 negara mayoritas beragama Islam. 
Semoga tulisan ini bisa mencerahkan masyarakat indonesia, mengakhiri polemik prokontra tentang kehalalan produk vaksin dan menuju masyakat sehat adil makmur.


https://www.qureta.com/post/sains-vaksin-dan-darurat-klb-difteri-di-indonesia

Menuju Kongres XX IAI Pekanbaru, April 2018

KONGRES XX  IKATAN APOTEKER INDONESIA MENUJU KE OLIGARKI ATAU DEMOKRASI

Oleh : Apoteker Dr. Chazali H. Situmorang,M.Sc / Dewan Pembina PP IAI/Anggota IAI NA Nasional; 25061955011670



Semenjak PP IAI mengumumkan rencana Kongres XX dan PIT IAI, tanggal 19 s/d 21 April 2018, di Pekan Baru, beberapa apoteker muda, setengah muda, menghubungi saya via WA, atau bertelepon, sebagai Dewan Pembina PP IAI, tentang bagaimana dinamika Kongres XX mendatang ini. Apakah sama seperti yang lalu- lalu yaitu pemilihan Ketua Umum PP IAI, yang punya hak suara adalah Pengurus Daerah, sedangkan Pengurus Cabang tidak mempunyai hak untuk memilih. 

Pertanyaan ini sangat mendasar sekali, bahkan ada yang lebih tajam lagi pertanyaannya karena jawaban saya yang agak mengambang. “ IAI ini mau menuju oligarki atau demokrasi?”. Saya semakin terkaget lagi, dan saya cari kamus besar bahasa Indonesia, apa itu oligarki yaitu “Pemerintahan/Pengurus yang dijalankan oleh beberapa orang yang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu”. 

Saya coba merenung, dan mencari jawabannya. Saya teringat Kongres-Kongres yang lalu dan saya turut menjadi calon untuk Ketua Umum PP IAI, ada yang membisikkan pada saya “andakan bukan alumni UGM, atau ITB, ngak usah maju, pasti ngak menang, sebab koneksitas almamater sangat kuat. Dan USU populasinya kecil dan tidak menyebar”. Dan benar saya kalah.  Dan ada yang menimpali, “ apalagi pemilihan hanya dilakukan oleh Pengurus Daerah Propinsi, dapat dihitung dengan jari jumlah suara, lebih mudah dikendalikan oleh para God Fathers,  alumni – alumni papan atas tersebut”. 

Menjelang Kongres XX ini, saya coba mendalami kembali bagaimana sebenarnya mekanisme organisasi IAI dalam penyelenggaraan Kongres yang diatur dalam AD/ART. Saya juga mencermati bagaimana dengan hak suara pada Kongres IDI misalnya. Ternyata  pemilihan Ketua Umum Terpilih PP IDI, oleh Pengurus Daerah dan Pengurus Cabang.

Mari kita cermati AD/ART IAI, produk Kongres XIX di Jakarta tahun 2014  yang lalu. Pada ART Bab VIII, pasal 19 ayat (2), menyatakan; peserta Kongres terdiri dari : 
a. Pengurus Pusat
b. Majelis Etik dan Disiplin Apoteker Indonesia Pusat
c. Pengurus Daerah
d. Majelis Etik dan Displin Apoteker Indonesia Daerah
e. Dewan Pengawas
f. Pengurus Cabang 

Dengan demikian untuk Kongres XX mendatang ini, tentu harus berdasarkan AD/ART mutakhir yaitu yang disyahkan pada Kongres XIX di Jakarta tahun 2014. Artinya semua Pengurus Cabang yang sudah terdaftar, bersama dengan organ-organ lainnya di level Daerah dan Pusat punya hak yang sama untuk menentukan pilihan siapa yang akan dijadikan sebagai Ketua Umum PP IAI untuk 4 tahun berikutnya. 

Dengan kata lain, jika ada keinginan untuk membuat tata tertib atau apapun namanya yang mereduksi AD/ART tentu Kongres tersebut secara hukum tidak sah. 

Oleh karena itu, jangan ada terlintas ( mudah2an tidak), dalam pikiran Para Pengurus PP / Steering Committe maupun Pengurus Daerah Propinsi,  untuk bekerja sama atau istilah yang disampaikan teman sejawat yaitu oligarki, bersepakat untuk mereduksi hak suara pengurus cabang dengan menggunakan forum Rakernas demi kepentingan kelompok atau status quo. Jika itu yang terjadi maka organisasi IAI akan mengalami degradasi dan gelombang badai yang merepotkan kita semua. 

Kewajiban kita membangun tradisi demokrasi sesuai dengan AD/ART. Dan jika proses demokrasi tersebut dapat berjalan dalam Kongres mendatang maka yakinlah dinamika organisasi pada level Cabang akan semakin bergairah. Mereka para Ketua – Ketua Cabang di mungkin sekitar 400 lebih cabang bersemangat  untuk mengurus organisasi secara profesional  karena dengan kompetisi yang sehat punya harapan untuk menjadi pimpinan puncak IAI. 

Bagi Pengurus PP IAI sekarang ini, dengan komitmen yang kuat untuk mendorong demokratisasi sesuai AD/RT dalam menyelenggarakan Kongres XX mendatang ini,  akan dikenang sepanjang masa oleh insan Apoteker sebagai periode kepengurusan yang fundamental dalam menancapkan demokrasi.

Apa manfaatnya ?

Dengan pemilihan oleh Pengurus Cabang dan organ lainnya, disamping memang semangat demokrasi yang diamanatkan dalam AD/ART, tentu mencegah terjadinya sepekulasi oleh para calon untuk “mengendalikan” setengah lebih sedikit ( 18 suara saja) dari suara pengurus Daerah, sudah bisa lolos dan terpilih. 

Akibatnya Pengurus Pusat senangnya berkomunikasi dan mengundang rapat Pengurus Daerah ke Pusat dengan biaya ditanggung PP ( padahal sumbernya dari anggota),dan bahkan dalam Rekernas yang bersamaan dengan PIT terjadilah apa yang disebut pembagian “Sisa Hasil Usaha” penyelenggaraan PIT yang dibagikan pada Pengurus Daerah yang hadir. Tentu mereka semua pada senang dan sumringah. Dan jika  Pimpinan Pusat datang ke Propinsi  biaya ditanggung PD propinsi ( dana bersumber dari anggota juga) . Jaranglah sampai ke Cabang, dan terkadang Cabang kepingin dikunjungi atau mengundang Pimpinan Pusat  tetapi khawatir karena harus menanggung semua biaya perjalanan dan akomodasi Pengurus Pusat terutama Cabang-Cabang yang jauh dari Jakarta. 

Kenapa Cabang seperti itu sikapnya, sebabnya selama ini Cabang menjadi kaki tangan Pengurus Pusat   yang ditugaskan untuk menarik iuran pada anggota, dan uangnya setor ke Pengurus Pusat, dan 50%  kembali ke Cabang, sisanya berbagi antara PP dan PD. Jika ingin kegiatan organisasi profesi bergerak dinamis di level Cabang, setidak-tidak 75% dari iuran untuk Cabang, sebab sumber dana operasional yang bisa diandalkan di Cabang adalah iuran. Sedangka PP dan PD Propinsi banyak sumber-sumber dana lain  seperti seminar, workshop, pelatihan-pelatihan  berakriditasi (SKP),  yang dibutuhkan anggota untuk kelanjutan profesinya.   

Terkait iuran ini, Pengurus Cabang sering berhadapan dengan anggota yang ‘ngomel” karena merasa diperas duitnya untuk membayar iuran anggota,  jika ada urusan  dengan Pengurus Cabang.  

Persoalan akan berbeda, jika Cabang punya hak suara. Siapapun Pengurus Pusat yang ingin mencalonkan diri sebagai Ketua Umum, atau Pengurus Daerah Propinsi ingin menjadi Ketua Umum PP IAI, tentu harus melakukan komunikasi dengan pengurus Cabang dan atau Pengurus Daerah lainnya. Artinya PP akan lebih sering ke cabang-cabang untuk melakukan bimbingan teknis dan pembinaan keanggotaan dan pembinaan organisasi. Secara personal tentu mereka-mereka yang turun akan dikenal dan akan terbangun silaturrahmi dengan baik. 

Dengan cara tersebut pola hubungan kerja akan terbangun dengan baik, dan Pengurus Pusat mengetahui persis persoalan dan dinamika yang dihadapi anggotanya dalam menjalankan profesi. Ujungnya tentu kebijakan yang dilakukan pada level  nasional akan  berdasarkan dan menjawab persoalan lapangan. 

Sangat kecil kemungkinan mereka yang tidak pernah turun ke cabang-cabang akan mendulang suara dari pengurus cabang. Dan sebagai organisasi yang profesional tidak mungkin juga bisa didapat suara dengan pendekatan “money politics”. Insya Allah, saya yakin itu. 

Bagi pengurus cabang  ( karena saya juga pernah pengurus cabang, pengurus daerah dan pengurus pusat), inilah momentumnya memperjuangkan hak anda yang sudah di akomodir dalam AD/ART, agar Kongres XX mendatang ini, merupakan Kongres yang bersejarah karena menghargai hak suara pesertanya, dan harus “dilawan” jika ada pihak-pihak yang ingin mereduksi hak anda tersebut.  

Silahkan pilih siapa yang menurut anda terbaik, jujur, profesional, membela profesi disemua front, sepenuh hati dan ikhlas. Yang penting juga kemampuannya berorganisasi sudah teruji, dan punya karakter kepemimpinan yang mandiri.  Saya sangat senang jika dari kalangan muda banyak yang tampil dan maju untuk menjadi Ketua Umum, soal kalah menang itu biasa. Karena memang pilihannya hanya dua yaitu menang atau kalah. Siapkan mental untuk kedua keadaan tersebut. 

Demikian juga penyusunan Pengurus Pusat paska Kongres. Yang diperlukan adalah mereka-mereka para anggota yang memang senang dan berbakat untuk berorganisasi. Tidak perlu profesor, doktor tapi tidak paham berorganisasi, tetapi jika ada profesor, doktor yang senang dan berbakat  mengelola organsasi IAI itu lebih baik.   

Ajak mereka yang punya pengalaman praktis berprofesi, punya jejaring yang luas dengan semua stakeholder terkait untuk duduk dalam kepengurusan. Mereka harus menanda tangani pakta integritas untuk aktif mengurus IAI, dan jika dalam 6 bulan tidak aktif siap mengundurkan diri atau di berhentikan dari pengurus.  Hal ini untuk menghindari anggota IAI yang hanya ingin jadi pengurus sekedar untuk memperpanjang daftar riwayat hidup. 

Untuk para teman sejawat  yang merasa  “sesepuh/ senior” janganlah lagi memaksakan kehendak atas nama almamater atau kelompok / daerah tertentu. Berikan pandangan-pandangan jernih, obyektif. Hindari penekanan pada personal, tetapi pada karakter kepemimpinan kedepan yang harus dimiliki para calon.

Semoga Kongres XX 2018, berjalan dengan lancar.

Cibubur, 26 Desember 2017